KATA
PENGANTAR
Sesungguhnya
segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, meminta
ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kita
serta keburukan amal perbuatan kita. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Karena
hidayah-Nya pula, Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Konsep Pernikahan Dalam Islam”
ini sebagai tugas Pendidikan Agama Islam tepat pada waktunya.
Akhirnya
penulis mohon kritik dan saran untuk lebih sempurnanya makalah ini. Selanjutnya
penulis berharap makalah yang sederhana ini bermanfaat, terutama bagi yang
membutuhkannya.
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ...............................................................................................................
Daftar Isi ………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah
…………………………………………………………
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pernikahan
……………………………………………………..
2.2 Anjuran Untuk Menikah …………………………………………………...
2.3 Tujuan Pernikahan
…………………………………………………………
2.3.1 Membentengi Martabat Manusia dari Perbuatan Kotor dan
Keji ………………………………………………………………
2.3.2 Rumah Tangga yang Islami ………………………………………
2.3.3 Karena Menikah itu Ibadah ………………………………………
2.3.4 Mencari Keturunan yang Shalih
………………………………….
2.4 Calon Pasangan yang Ideal …………………………………………………
2.4.1 Kafa’ah Menurut Konsep Islam ………………………………….
2.4.2 Kriteria Memilih Calon Suami dan Istri yang Shalihah
…………
2.5 Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandaskan Al-Qur’an dan As’Sunnah
Yang Shahih ……………………………………………………………….
2.5.1 Mengenal Calon Pasangan Hidup
……………………………….
2.5.2 Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)
……………………….
2.5.3 Khithbah (Peminangan)
…………………………………………
2.5.4 Akad Nikah ………………………………………………………
2.5.5 Walimatul ‘urs …………………………………………………..
2.5.6 Setelah Akad …………………………………………………….
2.6 Pernikahan yang Dilarang dalam Islam
…………………………………...
2.6.1 Nikah Mut’ah
……………………………………………………
2.6.2 Nikah Muhallil
…………………………………………………..
2.6.3 Pernikahan Silang (Beda Agama)
……………………………….
2.6.4 Pernikahan Khadan ………………………………………………
2.7 Hikmah Pernikahan ………………………………………………………..
2.7.1 Meninggikan Harkat dan Martabat Manusia …………………….
2.7.2 Memuliakan Kaum Wanita
………………………………………
2.7.3 Cara untuk Melanjutkan Keturunan ……………………………..
2.7.4 Wujud Kecintaan Allah SWT
……………………………………
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………...
3.2 Saran ……………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Konsep pernikahan pada umumnya hanya berkisar pada
pernikahan Internasional dan tradisional. Konsep nikah itu sendiri juga
pastinya memilih tempat dan wedding concept resepsi pernikahan yang
tepat bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Pernikahan menurut Islam adalah sebuah kontrak yang serius
dan juga moment yang sangat membahagiakan dalam kehidupan seseorang maka
dianjurkan untuk mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan dan membagi
kebahagiaan itu dengan orang lain. Seperti dengan para kerabat, teman-teman
atau pun bagi mereka yang kurang mampu. Dan pesta perayaan pernikahan juga
sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah Dia berikan
kepada kita. Di samping itu pernikahan-pernikahan juga memiliki fungsi lainnya
yaitu mengumumkan kepada khalayak ramai tentang pernikahan itu sendiri. Tidak
ada cara lain yang lebih baik untuk menghindari zina melainkan melalui
pernikahan.
Rasulullah SAW mengajarkan kita bahwa sudah menjadi
kewajiban seorang muslim untuk menjawab undangan pernikahan dan bahkan
Rasulullah SAW menekankan untuk menghadiri undangan walimah. Maka para ulama
berpendapat bahwa seseorang boleh untuk tidak menghadiri pernikahan hanya
dengan alasan-alasan yang diperbolehkan menurut Islam. Salah satu alasan yang
diperbolehkan itu adanya musik. Adanya musik yang tidak Islam ketika berkumpul
di saat pernikahan atau seseorang masih harus menyesuaikan pekerjaan lainnya
yang berhubungan dengan agama yang jauh lebih penting.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk-bentuk
pernikahan yang tidak sesuai dengan ajaran islam?
2.
Bagaimana konsep pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama islam?
1.3
Tujuan
Dalam
penyusunan makalah ini penyusun memiliki beberapa tujuan, antara lain:
a.
Untuk mengetahui pengertian pernikahan/nikah.
b.
Untuk mengetahui kenapa Islam menganjurkan menikah.
c.
Untuk mengetahui tujuan melaksanakan pernikahan.
d. Untuk mengetahui calon
pasangan yang ideal menurut Islam.
e. Untuk mengetahui proses sebuah
pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.
f. Untuk mengetahui pernikahan
yang dilarang dalam Islam.
g. Kita dapat mengetahui tentang
hikmah pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang
mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan,
cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat
suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui
agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri
dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah
dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang
tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat
menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya
perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara
makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah
dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan
Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya
"Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti
perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi
adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad
nikah antara dua orang anak manusia sebagai "Mitsaqon gholizho". Karena
janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian,
berbuat dzalim dan merampas hak istrinya dengan firmannya : "Bagaimana
kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama
lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian
perjanjian yang berat "Mitsaqon gholizho"." (Q.S An-Nisaa :
21).Aqad nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh ataupun haram, hal ini
disebabkan karena :
1. Sunnah, untuk menikah bila yang
bersangkutan :
a. Siap dan
mampu menjalankan keinginan biologi,
b. Siap dan
mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.
2. Wajib menikah, apabila yang
bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari
hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah
mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Q.S An-Nur : 33.
3. Makruh, apabila yang bersangkutan
tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walo seseorang tersebut
sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu
menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajiban dalam berumah tangga.
4. Haram menikah, apabila dia
mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya juga
keturunannya.
Sebaiknya sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk
memastikan dengan benar, bahwa kita dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila
yang mengidap penyakit berbahaya meneruskan pernikahannya, dia akan mendapat
dosa karena dengan sengaja menularkan penyakit kepada pasangannya.
Bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib
dan sunnah, berarti dia telah melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila
perjanjian itu dilanggar, Allah akan mengutuknya.
Apabila perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan
dimuliakan oleh Allah SWT, dan ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah.
2.2
Anjuran Untuk Menikah
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui (QS. An Nuur : 32)
Ayat di atas menganjurkan kepada umat Islam untuk menikah,
dan Allah SWT menegaskan bahwa menikah bukanlah sebagai penyebab sebuah
kemiskinan. Menikah adalah pembuka dari pintu-pintu rizki dan membaawa berkah
dan rahmah dari Allah. Dengan menikah, Allah akan menambah rizki dan karuniaNya
terhadap hambanya yang yakin terhadap Ayat-ayat Allah.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah
berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi
tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga
yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali,
sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin
Malik radhiyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Barangsiapa menikah, maka ia
telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah
dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan
Hakim].
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan,
hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak
menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil
(sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang
harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah
dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri.
Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih
jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah
Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga
hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga
kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau
sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti
pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan
dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah.
Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi
pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat
bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
2.3
Tujuan Pernikahan
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang
bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan
berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum
muslimin dan eksistensi umat Islam.
2.3.1 Membentengi Martabat Manusia dari Perbuatan
Kotor dan Keji
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam
di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan
keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur.
Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat
dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang
artinya): "Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan
untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan
lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya".
[Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu
Jarud dan Baihaqi].
2.3.2 Rumah Tangga Yang Islami
Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari'at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah
tangga berdasarkan syari'at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim
dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami. Rumah tangga yang
islami adalah rumah tangga yang berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama Islam
secara total (kaffah)
2.3.3 Karena Menikah itu Ibadah
Sebagai seorang manusia yang sadar betul kehambaanya,
manusia harus mengabdi dan memberikan hidupnya hanya kepada Allah dan selalu
menghabiskan hari-harinya dengan ibadah kepada Allah semata. Dari sudut pandang
ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal
shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain.
2.3.4 Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan
mengembangkan bani Adam, Allah berfirman : "Allah telah menjadikan dari
diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?" [An-Nahl : 72].
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya
sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh
melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena
banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak
Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq
Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang
benar.
2.4
Calon Pasangan Yang Ideal
a). Harus Kafa’ah
b). Shalihah
2.4.1 Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak
sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam
mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan
kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama
kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur
lewat materi saja.
Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau
sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya
kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina
rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut
Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan
status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat
seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada
perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13). “Artinya
: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).
Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka
untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi
yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka
meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :“Artinya : Wanita dikawini karena
empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan
karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya),
sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat
Bukhari 6:123, Muslim 4:175).
2.4.2 Kriteria Memilih Calon Suami dan Istri Yang Salihah
1). Kriteria Calon Istri yang Shalihah
* Beragama islam (muslimah). Ini adalah syarat yang utama
dan pertama.
* Memiliki akhlak yang baik. Wanita yang berakhlak baik
insya Allah akan mampu menjadi ibu dan istri yang baik.
* Memiliki dasar pendidikan Islam yang baik. Wanita
yang memiliki dasar pendidikan Islam yang baik akan selalu berusaha untuk
menjadi wanita sholihah yang akan selalu dijaga oleh Allah SWT. Wanita sholihah
adalah sebaik-baik perhiasan dunia.
* Memiliki sifat penyayang. Wanita yang penuh rasa cinta
akan memiliki banyak sifat kebaikan.
* Sehat secara fisik. Wanita yang sehat akan mampu memikul
beban rumah tangga dan menjalankan kewajiban sebagai istri dan ibu yang baik.
* Dianjurkan memiliki kemampuan melahirkan anak. Anak adalah
generasi penerus yang penting bagi masa depan umat. Oleh karena itulah,
Rasulullah SAW menganjurkan agar memilih wanita yang mampu melahirkan banyak
anak.
* Sebaiknya memilih calon istri yang masih gadis terutama
bagi pemuda yang belum pernah menikah. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara
keluarga yang baru terbentuk dari permasalahan lain.
2).
Kriteria Calon Suami yang Shalihah
Ø Beragama
Islam (muslim). Suami adalah pembimbing istri dan keluarga untuk dapat selamat
di dunia dan akhirat, sehingga syarat ini mutlak diharuskan.
Ø Memiliki
akhlak yang baik. Laki-laki yang berakhlak baik akan mampu membimbing
keluarganya ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Ø Sholih
dan taat beribadah. Seorang suami adalah teladan dalam keluarga, sehingga
tindak tanduknya akan ‘menular’ pada istri dan anak-anaknya.
Ø Memiliki
ilmu agama Islam yang baik. Seorang suami yang memiliki ilmu Islam yang baik
akan menyadari tanggung jawabnya pada keluarga, mengetahui cara memperlakukan
istri, mendidik anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan
rumah tangga secara halal dan baik.
2.5
Proses Sebuah Pernikahan yang Berlandasakan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih.
2.5.1 Mengenal calon pasangan hidup
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang
wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak
dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat
menikahinya.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya
adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya,
agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan
mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita
ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa
menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti
bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan
ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru
ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah.
Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah
ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang
wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki
berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang
pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari
pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu
dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh
dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan
wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara
mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka
istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta
menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
Artinya:“Maka
janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan
yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
2.5.2
Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ
إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ،
ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
Artinya:
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau
mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau
menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi
seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya
tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi
wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا،
يَعْنِي الصِّغَرَ
Artinya:“Lihatlah
wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau
maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu
‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Artinya:“Lihatlah
wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk
melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no.
3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Ash-Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu ‘anhu:
“Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa
sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga
tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena
setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan
khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal
mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga
aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada
Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ،
فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Artinya:“Apabila
Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita
maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan
Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat
wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ
أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ،
وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
Artinya:
“Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa
baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya,
walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR.
Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898,
dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa
sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur
ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat
darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan
ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.”
Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita
yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi
istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu
Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
2.5.3 Khithbah (peminangan)
Seorang
lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya
meminang wanita tersebut kepada walinya.
Apabila
seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu
dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya
meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى
يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Artinya:“Tidak
boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga
saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan
pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449)
disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ
أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَذَرَ
Artinya:“Seorang
mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya
menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya
meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya
meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita
meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang
kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran
hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan
peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan
pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad
akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki
bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad
keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam
hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
2.5.4 Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya:
“Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab
Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya
terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah
yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai
berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ،
وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا
قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
2.5.5 Walimatul ‘urs
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi,
menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya:“Selenggarakanlah
walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no.
5167 dan Muslim no. 3475)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah
ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu
disebutkan:
مَا
أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ
عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
Artinya:“Tidaklah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya
dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau
menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no.
5168 dan Muslim no. 3489)
2.5.6 Setelah Akad
Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin
masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara
berikut ini:
Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena
dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si
istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada
kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari
perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak
masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
(HR. Muslim no. 590).
Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan
disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas
minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin
As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu
‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu
didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian
memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah,
“Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad,
6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling
menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)
Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya
(ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا
فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ
وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا
عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Artinya:“Apabila
salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak
maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya
dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya
disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari
atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku
menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku
menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku
pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku
dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat.
Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan
berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.”
(Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq.
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya
shahih sampai ke Abu Sa’id”).
2.6
Pernikahan yang Dilarang dalam Islam
Islam melarang beberapa bentuk pernikahan, Insya Allah penulis akan
menyampaikan beberapa pernikahan yang dilarang dalam ajaran agama Islam :
2.6.1 Nikah Mut’ah
Yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah nikah yang diniatkan hanya untuk
bersenag-bersenang dan hanya untuk jangka waktu tertentu saja, mungkin dapat
diistilahkan dengan ungkapan nikah kontrak.
Pada awalnya nikah ini diperbolehkan oleh Rasulullah SAW, karena pada saat itu
kaum muslimin sedang mengalami peperangan yang berkepanjangan dan jauh dari
isteri mereka, pertimbangannya agar kaum muslimin yang berada di medan
peperangan terhindar dari bahaya dan kehinaan zina.
Setelah itu Rasulullah SAW melarang pernikahan jenis ini, karena dikhawatirkan
terdapat unsure pelecehan terhadap wanita, dan tidak sesuai dengan tujuan
pernikahan itu sendiri.
2.6.2 Nikah Muhallil
Nikah Muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seseorang laki-laki terhadap
perempuan yang telah di talak tiga, dengan maksud agar mantan suaminya yang
mentalak isterinya tadi dapat menikahinya lagi.
Nikah seperti ini dilarang oleh agama, bahkan dilaknak oleh Rasulullah SAW.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda : “Dari Ibnu Mas’ud ia berkata :
Rasulullah SAW mengutuk laki-laki yang Muhallil dan Muhallal Lahu (HR.Tarmidzi
dan Nasai).
2.6.3 Pernikahan Silang ( Beda Agama )
Pernikahan silang adalah pernikahan lintas agama atau pernikahan antara
laki-laki dan perempuan yang berbeda keyakinan dan berbeda agama. Dan Islam
melarang pernikahan silang ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.(QS. Al Baqarah : 221)
2.6.4 Pernikahan Khadan
Khadan mempunyai arti gundik atau piaraan, baik laki-laki yang menjadikan
perempuan sebagai gundiknya atau sebaliknya. Pernikahan Khadan merupakan
tradisi jahiliyah dan di dunia modern istilah khadan berganti dengan istilah
“kumpul kebo”. Pernikahan atau cara yang seperti ini dilarang oleh agama dan
melecehkan nilai-nilai dari rumah tangga yang sacral dan suci.
2.7 Hikmah
Pernikahan
Keluarga dalam Islam adalah perintah agama yang berusaha untuk diwujudkan oleh
setiap manusia beriman. Ia juga kesempurnaan akhlak manusia yang dicoba-raih
oleh setiap pribadi. Pernikahan mengandung beberapa hikmah yang memesona dan
sejumlah tujuan luhur.
Seorang manusia—laki-laki maupun perempuan—pasti bisa merasakan cinta dan kasih
sayang dan ingin mengenyam ketenangan jiwa dan kestabilan emosi. Allah S.W.T.
berfirman,
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Pun seseorang—laki-laki maupun perempuan—dalam naungan keluarga akan menikmati
perasaan memiliki kehormatan diri dan kesucian dan mengenyam keluhuran budi
pekerti. Rasulullah S.A.W. bersabda,
“Wahai
para pemuda, kalau ada di antara kalian yang sudah mampu menikah, segeralah
menikah. Sebab, pernikahan bisa menahan penglihatan dan menjaga kemaluan. Tapi,
kalau ada yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah
peredam gejolak syahwat.”
2.7.1 Meninggikan Harkat dan Martabat Manusia.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas mengumbar nafsu
biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan
harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan.
Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi
lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang
apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2.7.2 Memuliakan Kaum Wanita.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya
karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti
kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan
sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
2.7.3 Cara untuk Melanjutkan Keturunan.
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh
diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang
shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi
terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal
kebangkitan Islam di masa mendatang.
2.7.4 Wujud Kecintaan Allah SWT.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia memberikan cara kepada
mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di
dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup
yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan mahkluk-Nya
berpasang-pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih
sayang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Allah berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa
cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". [QS. Ar Ruum : 21].
Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria
dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama dalam usaha
mencar rumah tangga yang ideal. Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam
adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa
cinta) dan Rahmah (kasih sayang).
Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami
kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta
memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab. Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga
yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi
manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian
dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang
sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut"
perselisihan dan percekcokan.
3.2 Saran
Ø Dengan adanya perkawinan di harapkan
dapat mebentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, dunia dan akhirat.
Ø Perkawinan menjadi wadah bagi
pendidikan dan pembentukan manusia baru, yang kedepannya diharapkan mempunyai
kehidupan dan masadepan yang lebih baik.
Ø Dengan adanya kepala keluarga yang
memimpin bahtera keluarga, kehidupan diharapkan menjadi lebih bermakna, dan
suami-suami dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di
jalan Allah. Amin!
DAFTAR PUSTAKA
Dandelion,
Momoy. 2010. Konsep Pernikahan Dalam Pandangan Islam. (Online), (http://momoydandelion.blogspot.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Gunawan,
Gugum Gumilar. 2012. Cara Memilih Pasangan Hidup Menurut Islam.
(Online), (http://blogi-one.blogspot.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Hadzan,
Ibnul. 2007. Konsep Pernikahan dalam Islam. (Online), (http://koswara.wordpress.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Kumpulan
Makalah. 2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan. (Online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/, diakses
7 Oktober 2012).
Qur'an dan
Sunnah. 2009. Pernikahan Menurut Islam dari Mengenal Calon Sampai Proses
Akad Nikah. (Online), (http://qurandansunnah.wordpress.com/, diakses 7 Oktober 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar